Ketika Angka Berbicara: Gorontalo dalam Jerat Kemiskinan
Ruanda.my.id
Oleh: Uyun Arif, S.Sos., M.AP
Ruanda.my.id Kemiskinan merupakan tantangan multidimensional yang tidak hanya mencerminkan kekurangan pendapatan, tetapi juga ketimpangan akses terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan pekerjaan yang layak. Di Provinsi Gorontalo, persoalan kemiskinan menjadi isu yang cukup kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai faktor geografis, sosial, ekonomi, dan kebijakan.
Dalam konteks pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas utama yang membutuhkan pendekatan lintas sektor dan berbasis data. Provinsi Gorontalo memiliki karakteristik wilayah yang beragam, mulai dari daerah pesisir, pegunungan, hingga kawasan perkotaan.
Keragaman ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam aksesibilitas dan sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak dapat diterapkan secara seragam, melainkan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal di masing-masing wilayah.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat telah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti bantuan sosial tunai, pemberdayaan ekonomi berbasis UMKM, serta peningkatan infrastruktur dasar di desa-desa tertinggal. Namun, efektivitas program tersebut masih belum merata di seluruh kabupaten/kota di Gorontalo.
Selain faktor program, tantangan lainnya datang dari rendahnya kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja, yang menyebabkan minimnya daya saing masyarakat miskin dalam pasar kerja. Sektor informal menjadi sandaran utama banyak keluarga, namun tidak mampu memberikan kestabilan ekonomi yang memadai.
Disisi lain, dinamika ekonomi nasional dan global juga mempengaruhi situasi kemiskinan di daerah. Krisis kesehatan global seperti pandemi COVID-19 pada tahun 2020-2021 memberikan dampak besar terhadap perekonomian daerah, terutama sektor-sektor seperti perdagangan, pariwisata, dan pertanian rakyat. Kesenjangan digital juga menjadi tantangan baru dalam penanggulangan kemiskinan.
Di era transformasi digital, masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke teknologi dan informasi cenderung semakin tertinggal dalam peluang ekonomi dan pendidikan. Meskipun terdapat tren penurunan secara umum dalam lima tahun terakhir, data menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah masih cukup besar.
Beberapa kabupaten mengalami stagnasi dalam penurunan angka kemiskinan, sementara yang lain berhasil mencatat kemajuan yang lebih signifikan. Disparitas ini mengindikasikan perlunya evaluasi dan penyesuaian kebijakan yang lebih adaptif terhadap karakteristik lokal masing-masing wilayah.
Isu kemiskinan di Gorontalo juga berkaitan erat dengan isu gender dan perlindungan anak. Banyak perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang mengalami kerentanan ganda, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan inklusif yang mempertimbangkan kelompok rentan menjadi sangat penting.
Upaya pengentasan kemiskinan juga menghadapi tantangan dari sisi perencanaan dan kapasitas birokrasi. Tidak semua pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia dan kelembagaan yang kuat untuk merancang dan mengimplementasikan program secara efektif. Ini menyebabkan kesenjangan dalam pelaksanaan kebijakan antar wilayah.
Selain itu, pola konsumsi dan ketahanan pangan masyarakat miskin di Gorontalo juga menjadi faktor penting yang seringkali terabaikan. Ketergantungan pada komoditas pangan tertentu yang tidak stabil dari sisi harga dan ketersediaan membuat keluarga miskin sangat rentan terhadap gejolak pasar.
Dengan memahami kompleksitas persoalan kemiskinan dari berbagai sudut pandang, diharapkan hal ini dapat memberikan gambaran mengenai arah dan tantangan terkait kemiskinan di Provinsi Gorontalo.
Berdasarkan data persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dari tahun 2020 hingga 2024:
Tren Umum Provinsi Gorontalo
Secara keseluruhan, persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo menunjukkan tren penurunan selama lima tahun terakhir, yakni dari 15,22% pada tahun 2020 menjadi 14,57% pada tahun 2024. Meskipun penurunan sebesar 0,65 poin persentase ini tampak kecil dalam angka absolut, namun menggambarkan adanya arah perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di tingkat makro.
Tren ini kemungkinan besar mencerminkan pengaruh dari berbagai program pemerintah pusat dan daerah yang diarahkan pada penguatan jaring pengaman sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta investasi di bidang layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa.
Penurunan tersebut juga menunjukkan bahwa ada upaya konkret yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam mengintervensi persoalan kemiskinan secara terstruktur. Namun demikian, jika dilihat dari perspektif laju, penurunan ini masih di bawah ekspektasi nasional.
Target penurunan kemiskinan nasional berada pada kisaran 1% per tahun, sementara di Gorontalo, rata-rata penurunan hanya sekitar 0,16% per tahun. Ini menandakan bahwa transformasi struktural ekonomi dan pemerataan pembangunan belum sepenuhnya menjangkau kelompok masyarakat paling rentan di provinsi ini.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa tren penurunan tersebut tidak bersifat merata di seluruh wilayah. Ada kabupaten/kota yang mengalami kemajuan signifikan, sementara yang lain menunjukkan stagnasi atau bahkan fluktuasi. Artinya, secara makro, angka Provinsi Gorontalo bisa menurun, tetapi di tingkat mikro, terdapat ketimpangan yang cukup serius.
Faktor-faktor eksternal seperti pandemi COVID-19 juga sempat memberikan tekanan besar pada penurunan angka kemiskinan. Tahun 2021 misalnya, sebagian wilayah mengalami lonjakan kemiskinan akibat dampak ekonomi yang sangat besar, terutama bagi sektor informal dan kelompok pekerja harian. Oleh karena itu, penurunan yang terjadi setelahnya (2022–2024) bisa dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan.
Selain itu, komposisi wilayah Provinsi Gorontalo yang didominasi oleh daerah pedesaan dan perbukitan turut mempengaruhi efektivitas distribusi program-program pengentasan kemiskinan. Wilayah dengan kondisi geografis sulit cenderung memiliki keterbatasan dalam akses terhadap layanan dasar, yang berdampak langsung pada kualitas hidup dan kesempatan ekonomi masyarakatnya.
Dalam konteks ini, data penurunan kemiskinan provinsi hanya dapat dimaknai sebagai indikator awal yang perlu ditelusuri lebih dalam. Untuk memahami sepenuhnya dinamika kemiskinan, perlu dilakukan analisis wilayah secara lebih rinci agar strategi penanggulangan dapat disesuaikan dengan karakteristik lokal yang ada di Gorontalo itu sendiri.
Analisis Per Kabupaten/Kota
1. Kabupaten Pohuwato
Wilaya ini sempat mengalami penurunan dari angka 17,62% (2020) ke 17,11% (2024), atau hanya 0,51 poin. Justru pernah mengalami kenaikan 18,08% pada tahun 2021. Hal ini mengindikasikan adanya stagnasi dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Wilayah Kabupaten Pohuwato. Tentunya Kabupaten Pohuwato membutuhkan evaluasi lebih dalam terhadap efektivitas program yang berjalan dengan adanya roda pemerintahan ke-2 oleh Bupati Pohuwato dan apakah dengan kepemimpinannya mampu menurunkan angka kemiskinan atau justrus Stagnan.
2. Kabupaten Boalemo
Kabupaten ini justru lebih konsisten mencatat angka kemiskinan tertinggi selama lima tahun terakhir, yaitu dari 18,57% (2020) turun menjadi 17,83% (2024). Penurunannya hanya berkisaran sebesar 0,74 poin tentu hal ini masih belum cukup signifikan jika dibandingkan dengan beban sosial ekonomi yang ada pada wilayah tersebut. Faktor geografis, keterbatasan infrastruktur, dan tingginya ketergantungan pada sektor informal bisa menjadi penyebab utama lambatnya penurunan kemiskinan yang ada di Kabupaten Boalemo.
3. Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Gorontalo mencatat penurunan dari 17,56% (2020) menjadi 16,43% (2024), atau sekitar 1,13 poin. Capaian ini merupakan salah satu yang cukup konsisten dalam menangani angka kemiskinan di antara kabupaten lainnya. Perbaikan ini menunjukkan bahwa intervensi pembangunan yang lebih terarah mulai menunjukkan hasil, meskipun angka kemiskinan masih berada di atas rata-rata provinsi.
4. Kabupaten Bone Bolango
Bone Bolango menunjukkan penurunan dari 15,81% (2020) ke 14,80% (2024), dengan selisih 1,01 poin. Ini merupakan penurunan yang cukup baik dan menggembirakan. Wilayah ini dapat dijadikan contoh daerah dengan pengelolaan pembangunan sosial ekonomi yang efektif, terutama dalam mendorong produktivitas masyarakat miskin yang ada di Bone Bolango.
5. Kabupaten Gorontalo Utara
Meskipun mengalami fluktuasi (ketidakstabilan), angka kemiskinan di Kabupaten Gorontalo Utara cenderung stagnan, dari 16,88% (2020) ke 16,86% (2024) (turun hanya 0,02 poin). Ini menunjukkan adanya kemandekan dalam program pengentasan kemiskinan yang ada di Gorontalo Utara. Evaluasi mendalam dan pendekatan baru sangat dibutuhkan, terutama dalam mendekatkan akses ekonomi dan layanan dasar ke masyarakat ditambah lagi di tahun 2025 ini dengan kepemimpinan yang sama oleh Bupati Sebelumnya. Hingga strategi apa yang perlu dilakukan dalam menurunkan angka kemiskinan yang ada sebab dalam data 5 tahun terakhir justru hanya mengalami stagnan.
6. Kota Gorontalo
Sebagai satu-satunya wilayah perkotaan, Kota Gorontalo mencatat angka kemiskinan paling rendah, berada di kisaran 5,5% – 5,9% selama lima tahun. Namun, menariknya justru pada tahun 2024 terjadi kenaikan dari tahun sebelumnya 5,64% (2023) menjadi 5,74% (2024). Jika dilihat ini tentunya menjadi alarm dini agar kota tidak lengah dalam mengelola isu-isu sosial, terutama yang muncul akibat urbanisasi dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di Kota Gorontalo, dengan pemimpin yang baru ini diharapkan mampu memberikan solusi terkait hal tersebut.
Urgensi Pendekatan Kewilayahan
Didalam upaya penanggulangan kemiskinan yang ada di Provinsi Gorontalo perlu didorong lebih agresif dan berbasis pendekatan kewilayahan. Artinya bahwa strategi pengentasan kemiskinan harus mempertimbangkan perbedaan karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi di pada setiap wilayah baik kabupaten maupun kota.
Dengan pendekatan satu model untuk semua kabupaten/kota tentunya terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketimpangan dan menangani angka kemiskinan di Gorontalo.seperti peta pemetaan berbasis kewilayahan pada gambar berikut ini.
Dengan model pendekatan kewilayahan seperti pada gambar tersebut diharapkan mampu mendorong lahirnya kebijakan berbasis bukti, artinya di mana perencanaan program disesuaikan dengan hasil pemetaan kondisi sosial-ekonomi spesifik tiap daerah. Ini memungkinkan alokasi anggaran yang lebih tepat sasaran dan berdampak nyata pada masyarakat miskin.
Lebih agresif berarti pemerintah daerah dan pusat perlu mempercepat pelaksanaan program, memperluas cakupan, serta mengefektifkan pelaksanaan melalui monitoring yang ketat. Kolaborasi antara OPD, dunia usaha, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi penting untuk membentuk ekosistem pengentasan kemiskinan yang solid dan berkelanjutan yang ada di Provinsi Gorontalo.
Penulis berharap melalui tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran penting terkait dengan kondisi kemiskinan dan strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk mampu menjawab persoalan kemiskinan yang terjadi sampai dengan saat ini angkanya masih cukup tinggi.
0 Komentar