Oleh: Uyun Arif, S.Sos., M.AP
Ruanda.my.id: Kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Gorontalo terus menjadi persoalan serius yang belum tertangani secara menyeluruh. Meski berbagai regulasi telah diterbitkan dan lembaga layanan telah dibentuk, angka kekerasan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Gorontalo menunjukan tahun 2022-2024 mencatat sebanyak 1.145 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan presentasi seperti pada data diagram berikut:
Dari data tersebut terlihat jelas bahwa peran terkait dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan perlu menjadi perhatian bersama. Jenis kekerasan paling banyak dialami tentunya adalah kekerasan seksual, diikuti oleh kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan berbasis ekonomi. Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo menempati urutan tertinggi dalam persoalan tersebut.
Terkait persoalan tersebut tentunya pemerintah telah berupaya dan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai garda terdepan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang tak henti-hentinya terus terjadi baik di lingkungan sosialnya maupun dalam lingkungan keluarga. Sehingga banyak asumsi dari berbagai pihak menilai kehadiran UPTD PPA belum maksimal. Terlihat masih sering terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak.
Pada awal tahun 2025 yang tentunya menjadi awal tahun yang baik untuk pemerintahan yang baru, justru kembali digemparkan dengan persoalan anak di bawah umur yang dicabuli oleh 20 orang pemuda.
Dari salah satu kasus tersebut tentu masih banyak lagi persoalan-persoalan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan masih banyak korban yang tidak tahu harus mengadu ke mana, dan bahkan ketika mereka tahu, layanan belum siap menerima mereka dan menjamin keamanan, baik keamanan secara sosial maupun psikologi.
Meskipun laporan resmi menunjukkan ratusan kasus yang sering terjadi, banyak aktivis memperkirakan bahwa angka sebenarnya jauh lebih besar. Hal ini tak lain masih banyak perempuan yang memilih diam karena takut dikucilkan atau tidak dipercaya bahkan di dukung oleh lingkungan sosialnya.
Pemerintah daerah memang telah menerbitkan sejumlah regulasi dan program. Namun, pelaksanaannya dinilai masih bersifat formalistik dan kurang menyentuh akar masalah. Sosialisasi kebijakan tidak dilakukan secara masif, dan pengawasan pelaksanaan kebijakan masih lemah.
Dalam situasi darurat ini, pemerintah daerah harus bertindak nyata, cepat, dan terstruktur. Beberapa langkah strategis yang harus segera dilakukan antara lain: 1) Penguatan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota, termasuk penambahan psikolog, advokat, dan pekerja sosial. 2) Pembangunan rumah aman (shelter) di setiap wilayah dengan standar pelayanan yang layak dan aman. 3) Peningkatan alokasi anggaran untuk perlindungan perempuan dan penanganan kasus kekerasan. 4) Sosialisasi masif tentang hak-hak korban dan mekanisme pelaporan berbasis komunitas/ngalaa. 5) Pelibatan tokoh adat dan agama dalam edukasi publik berbasis nilai lokal Gorontalo. 6) Pendidikan anti kekerasan dan kesetaraan gender di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. 7) Pembentukan forum multi-pihak (LSM, akademisi, pemerintah, media) untuk pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari persoalan dan strategi yang selalu dilakukan oleh pemerintah demi mengurangi angka kekerasan tersebut, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Gorontalo Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Diperlukannya juga pergub sebagai turunan teknis dari pelaksanaan PERDA serta perlunya roadmap penanggulangan Kekerasan Perempuan dan Anak sebagai document acuan untuk sector di daerah.
Sebab masalah kekerasan terhadap perempuan bukan hanya persoalan individu atau keluarga, tetapi persoalan sosial dan struktural. Butuh komitmen lintas sektor dan keberanian politik untuk menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah musuh bersama. Berikut ini data menunjukan tren kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Provinsi Gorontalo Tahun 2021–2024.
Berdasarkan data tersebut menunjukan secara keseluruhan dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2021–2024), tercatat sebanyak 1.555 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Gorontalo. Ini merupakan angka yang sangat tinggi dan menunjukkan bahwa kekerasan masih menjadi persoalan struktural dan sistemik di wilayah ini. tahun dengan jumlah kasus tertinggi itu pada 2023 tercatat, yaitu 482 kasus. Kenaikan signifikan dibanding tahun sebelumnya (2022) yang menunjukkan kemungkinan peningkatan pelaporan, eskalasi kekerasan, atau keduanya.
Tahun dengan penurunan tajam terjadi pada tahun 2024, terjadi penurunan menjadi 288 kasus. Penurunan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor: a) Peningkatan kesadaran masyarakat. b) Efektivitas intervensi pemerintah dan UPTD PPA. c) Atau justru adanya hambatan dalam pelaporan dan pendataan kasus.
Terjadi fluktuasi data dari tahun ke tahun: 1) 2021–2022: Penurunan dari 410 → 375; 2) 2022–2023: Lonjakan tajam dari 375 → 482; 3) 2023–2024: Penurunan dari 482 → 288. Hal Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan belum konsisten dan masih menghadapi tantangan dan rata-rata penanganan jumlah kasus per Tahun adalah sekitar 389 kasus/tahun.
Meskipun ada penurunan di tahun terakhir, tren kasus kekerasan tetap mengkhawatirkan. Pemerintah daerah harus membaca data ini tidak sekadar angka, tapi sebagai indikator krisis sosial yang membutuhkan respon cepat dan strategis. Diperlukan intervensi yang berbasis data, berkelanjutan, dan kolaboratif antara instansi.
Perempuan Gorontalo tidak boleh lagi dibungkam oleh budaya malu, ketakutan atau sistem hukum yang tidak berpihak. Mereka berhak atas keadilan, keamanan dan pemulihan. Atas kondisi yang ada, maka pemerintah sebagai pemegang mandat perlindungan warga negara, harus berdiri di garis depan perjuangan.
Publikasi: @Admin

0 Komentar