Tidak hanya Agnes, namun perkara yang sama juga dialami oleh Penyanyi DA Lesti Kejora yang telah dituntut pidana selama 4 tahun ganti rugi atas Lagu yang mempopulerkan yang bersangkutan Rp 1 Miliar.
History tentang Hak cipta lagu di Negara-negara maju seperti di AS telah dibuat regulasinya pada tahun 1973, dan akhir abad ke-19 di Eropa, lagu mendapatkan hak cipta secara otomatis ketika seseorang menulis atau merekamnya.
Bahkan dari beberapa lagu-lagu yang memiliki brand diberikan Centerfield sebagai bentuk pengakuan tambahan dari manajemen yang mengelola HKI tersebut.
Dalam perkara seperti ini, ada hal yang penting kita perlu pahami bersama bahwa Negara Indonesia harus hadir dalam menjaga hak-hak individu warga Negara dan hal itu menjadi amanah konstitusional. Artinya Negara hadir untuk menjamin itu, serta kondusifitas publik diberikan Negara dalam bentuk instrumen, yakni kebijakan publik.
Kita mengenal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun regulasi ini menjadi payung hukum yang general. Supaya tidak menjadi keliru dalam memahami isi dari regulasi ini, maka harus ada implementor kebijakan yang harus melakukan telaah dan derivasi kebijakan tambahan/turunan menjadi instrumen teknis dalam tata kelolanya pada level penerima kebijakan itu.
Didalam isi Pasal 9 dan 10 turunan dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Nah, ini sangat memungkinkan ada jalan keluar yang memudahkan bagi lembaga teknis yang mengelolanya, agar dalam pemanfaatan terhadap karya cipta lagu atau musik yang dilahirkan baik kelompok maupun personal diruang publik dapat membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di bawah koordinasi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Isu royalti musik yang membebani pelaku usaha menguat seiring penegakan kewajiban lisensi/royalti untuk pemutaran di ruang publik berdasarkan UU 28/2014. Lembaga manajemen kolektif (LMK/LMKN) belum memperkuat regulasi dalam pengenaan tarif, sehingga terlihat seperti “Air tenang menghanyutkan”.
Bila lembaga ini mengatur dengan dengan baik serta memiliki data base lisensi yang jelas dan memiliki standar baku ataupun juknis dalam menjalankan regulasi tersebut.
Penulis mencoba menelusuri website LMKN secara rinci regulasi telah tersaji dan pengenaan tarifnya berdasarkan peruntukan. Namun belum disertai regulasi juknis sebagai derivasi kebijakan yang kuat dalam tataran implementasinya. Seolah kebijakan yang dijalan ini sudah serta merta dapat dijalankan dengan benar.
Pahami dengan benar regulasinya agar tidak salah kaprah dalam implementasinya. Secara normatif, kebijakan ini dirancang untuk menjamin keadilan bagi pencipta lagu agar memperoleh hak ekonomi atas karya mereka.
Namun, dalam tataran implementatif, kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena dianggap menambah beban biaya operasional bagi pelaku usaha, khususnya sektor mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang diketahui bersama masih dalam fase pemulihan ekonomi pasca-pandemi (Palar, Rafianti, & Puspitasari, 2024).
Dimensi Kebijakan Publik dan Prinsip Keadilan
Dari sudut pandang kebijakan publik, kebijakan royalti musik mencerminkan paradigma regulatory policy, yang menekankan pengaturan perilaku individu dan institusi untuk melindungi kepentingan pihak tertentu, yakni pencipta lagu. Namun, penerapan kebijakan ini menimbulkan dilema keadilan.
Berdasarkan teori John Rawls tentang justice as fairness, kebijakan seharusnya memperhatikan kelompok yang paling rentan, dalam hal ini UMKM, agar tidak menanggung beban berlebihan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tarif royalti bersifat seragam tanpa mempertimbangkan kapasitas ekonomi pelaku usaha, sehingga berpotensi melahirkan ketidakadilan distributif, sehingga menjadikan suatu ketakutan bagi kelompok rentan (Asrofi, 2025).
Kondisi ini mengindikasikan adanya disonansi antara tujuan normatif kebijakan dan realitas implementasi, sehingga nada regulasi terdengar sumbang ketika berbenturan dengan prinsip proporsionalitas dalam kebijakan publik.
Ketidakjelasan definisi “pengguna komersial” dalam pengaturan royalti musik mencerminkan kelemahan perumusan norma yang berdampak pada kepastian hukum (legal certainty).
Undang-Undang Hak Cipta dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan batasan yang tegas apakah pihak yang berkewajiban membayar royalti adalah penyelenggara acara, penyanyi, atau pihak lain yang memperoleh keuntungan ekonomi dari penggunaan lagu.
Penulis telah membaca salah satu tulisan Febrian, dkk 2025. Didalam artikel tersebut diuraikan bahwa “Pemerintah tentang Royalti menyebabkan ketidakpastian dalam menentukan apakah penyanyi atau penyelenggara acara yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti, sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran tanggung jawab antar pihak” dari tulisan ini, sudah jelas masih belum ada kepastian hukum dan regulasinya belum jelas pengenaannya.
Ambiguitas ini memicu regulatory gap yang mengakibatkan pergeseran tanggung jawab antar aktor, sehingga menimbulkan potensi konflik hukum.
Dalam perspektif teori implementasi kebijakan (Van Meter & Van Horn), ketidakjelasan regulasi merupakan hambatan utama dalam mencapai efektivitas kebijakan karena menimbulkan interpretasi ganda di tingkat pelaksanaan.
Situasi ini semakin kompleks ketika praktik peradilan menghasilkan putusan yang mengabulkan gugatan pencipta lagu terhadap penyanyi terkait hak pertunjukan, meskipun kerangka hukum menegaskan bahwa pembayaran royalti seharusnya dilakukan oleh pengguna komersial melalui LMKN.
Ketidakharmonisan antara norma hukum, praktik yudisial, dan kelembagaan LMKN menunjukkan adanya policy ambiguity yang berdampak pada legitimasi regulasi, Ardian, D. (2024, 11 Januari).
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penguatan regulasi melalui penjabaran teknis yang lebih rinci tentang definisi pengguna komersial, disertai mekanisme koordinasi yang jelas antar pemangku kepentingan, agar perlindungan hak pencipta sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam kebijakan publik.
Dampak Ekonomi dan Efektivitas Kebijakan
Secara ekonomi, kewajiban membayar royalti menimbulkan implikasi yang tidak dapat diabaikan. Bagi usaha dengan margin keuntungan tipis, tambahan beban royalti dapat memengaruhi daya saing dan keberlangsungan bisnis.
Penelitian internasional menunjukkan bahwa kebijakan lisensi musik di ruang publik sering kali menimbulkan biaya kepatuhan yang tinggi dan menciptakan insentif untuk menghindari regulasi, misalnya dengan tidak memutar musik berlisensi (Marshall, 2025).
Dampak jangka panjangnya bukan hanya terhadap pelaku usaha, tetapi juga terhadap ekosistem musik itu sendiri. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan musisi, kebijakan yang kurang adaptif justru dapat mengurangi penggunaan musik di ruang publik, yang pada gilirannya menurunkan eksposur karya musisi dan nilai tambah industri kreatif.
Salah satu artikel yang rilis oleh Adnan, AF (2025, 10 Januari). Industri musik di Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dengan menyumbang sekitar Rp 6 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang menegaskan perannya sebagai sektor kreatif strategis dalam ekosistem ekonomi kreatif.
Kontribusi ini tidak hanya mencerminkan nilai ekonomi dari produksi dan distribusi musik, tetapi juga efek multiplikasi pada sektor lain seperti pariwisata, periklanan, dan platform digital.
Namun, besarnya kontribusi ini belum diimbangi dengan tata kelola hak cipta yang optimal, khususnya dalam pemungutan dan distribusi royalti, sehingga potensi ekonomi yang lebih besar masih terhambat oleh lemahnya kepastian hukum dan infrastruktur kelembagaan.
Dalam perspektif kebijakan publik, angka Rp 6 triliun seharusnya menjadi dasar argumentatif untuk mendorong regulasi yang adaptif terhadap disrupsi digital dan praktik komersialisasi konten agar tercapai keseimbangan antara perlindungan hak pencipta dan keberlanjutan industri.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Agar nada regulasi tidak lagi terdengar sumbang, diperlukan perbaikan desain kebijakan yang mengedepankan asas proporsionalitas, keadilan, dan efisiensi.
Pertama, pemerintah perlu menerapkan skema tarif royalti berbasis kategori usaha dan kapasitas ekonomi, misalnya melalui mekanisme tiered licensing.
Kedua, penguatan transparansi dalam pengelolaan dana royalti melalui digitalisasi laporan pendistribusian menjadi keharusan untuk meningkatkan akuntabilitas.
Ketiga, pendekatan kolaboratif antara LMKN, asosiasi pengusaha, dan komunitas kreatif harus dikedepankan untuk mengurangi konflik kepentingan.
Dengan demikian, kebijakan royalti musik dapat sejalan dengan misi kebijakan publik, melindungi hak pencipta tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha dan stabilitas ekonomi nasional.
Memperkuat kejelasan hukum tentang perizinan langsung dapat memastikan keadilan, kepastian hukum, dan kemampuan beradaptasi bagi kreator dan pelaku industri musik dalam ekonomi kreatif Indonesia yang sedang berkembang.
Publish: @Admin


1 Komentar
Tulisan ini bermanfaat karena menjelaskan Servant Leadership dengan jelas, sehingga saya paham bahwa pemimpin sejati bukan hanya memimpin dengan kuasa, tapi juga melayani dan mendukung timnya dengan rendah hati.
BalasHapus