Selamat Datang di Website Resmi Ruanda.my.id: Ruang terbuka berbasis digitalisasi untuk berbagi gagasan, membangun diskusi kritis, dan memperluas wawasan mengenai pendidikan dan administrasi publik (Kebijakan publik, organisasi, lingkungan, etika, manajemen, akuntabilitas). Ruanda.my.id hadir sebagai inisiatif akademik yang menghubungkan dosen, mahasiswa, praktisi, serta masyarakat umum dalam satu wadah kolaboratif. Melalui berbagai kegiatan seperti kuliah umum, webinar, diskusi ilmiah, dan pendampingan kelembagaan, kami berkomitmen untuk menjadi bagian dari proses pembangunan intelektual dan kontribusi nyata bagi bangsa. Jelajahi setiap sudut website ini dan temukan inspirasi, ilmu pengetahuan, serta jejaring yang memperkaya perjalanan akademik dan Anda.

Penyebab Korupsi: Analisis Komparatif antara Teori dan Temuan Empiris

Oleh: Pebriyanto A. Hulinggi

Ruanda.my.id
Korupsi merupakan salah satu fenomena sosial dan administratif yang paling kompleks serta merusak tatanan pembangunan. Ia tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan, melemahkan institusi hukum, dan menurunkan efektivitas pelayanan publik.

Dalam konteks globalisasi, tantangan korupsi semakin kompleks karena kemajuan teknologi, keterbukaan informasi, serta global supply chain yang memperluas ruang interaksi antara sektor publik dan privat.

Secara historis, teori korupsi telah dikembangkan dari berbagai perspektif: ekonomi, politik, budaya, maupun administrasi publik. 

Salah satu teori paling klasik adalah formula Klitgaard (1988) yang menyatakan bahwa korupsi sama dengan monopoli tambah diskresi kurang akuntabilitas. Artinya, korupsi cenderung muncul ketika individu atau lembaga memiliki kekuasaan monopoli dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa sistem akuntabilitas yang kuat.

Selain itu, teori pilihan rasional (rational choice theory) berpendapat bahwa pelaku korupsi bertindak berdasarkan pertimbangan untung-rugi. 

Jika manfaat yang diperoleh dari tindakan koruptif melebihi risiko tertangkap atau hukuman yang akan diterima, maka tindakan tersebut menjadi rasional dalam konteks individu.

Pendekatan ini banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku korupsi di negara dengan penegakan hukum yang lemah.

Dari perspektif teori sistemik dan budaya, korupsi tidak hanya muncul karena keputusan individu, tetapi juga karena sistem sosial dan politik yang permisif.

Budaya patronase, nepotisme, serta norma sosial yang toleran terhadap penyimpangan memperkuat perilaku koruptif. Dalam beberapa negara, pemberian gratifikasi atau hadiah sering kali dianggap sebagai bentuk loyalitas atau penghormatan, bukan pelanggaran etika.

Seiring perkembangan globalisasi dan digitalisasi, muncul dimensi baru dalam studi korupsi: peran teknologi informasi dan pemerintahan digital.

Teknologi berpotensi besar menekan korupsi dengan meningkatkan transparansi dan mempersempit ruang diskresi, namun juga membuka peluang baru seperti korupsi berbasis digital (cyber corruption). Oleh karena itu, penting untuk melihat sejauh mana teori klasik mampu menjelaskan fenomena kontemporer ini.

Studi terkini oleh Seiam & Salman (2024) menunjukkan bahwa tingkat pengembangan e-governance berbanding terbalik dengan tingkat persepsi korupsi di berbagai negara.

Negara dengan indeks e-governance tinggi khususnya yang memiliki partisipasi digital publik (e-participation) cenderung lebih rendah tingkat korupsinya. Hal ini menegaskan bahwa digitalisasi dapat menjadi instrumen penting dalam memperkuat akuntabilitas.

Penelitian lain oleh Li (2024) meneliti 10 negara ASEAN dan menemukan bahwa kualitas regulasi, stabilitas politik, serta investasi asing langsung (FDI) secara signifikan menurunkan tingkat korupsi.

Namun, temuan menarik muncul ketika penggunaan internet justru memiliki hubungan ambigu: di satu sisi meningkatkan transparansi, namun di sisi lain memperbesar peluang manipulasi digital. 

Sementara itu, Raharja et al., (2023) menemukan bahwa e-government dan kontrol korupsi memiliki hubungan positif terhadap efektivitas pemerintahan.

Negara-negara dengan sistem e-governance matang tidak hanya lebih efektif dalam mengontrol korupsi, tetapi juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. 

Ini memperkuat pandangan bahwa antikorupsi bukan sekadar upaya moral, melainkan strategi pembangunan ekonomi. Dalam konteks pemerintahan daerah, Shidqi & Arfiansyah (2023) menekankan pentingnya audit internal dan kontrol internal.

Mereka menemukan bahwa semakin kuat mekanisme audit internal dan opini audit, semakin rendah tingkat korupsi daerah. Sebaliknya, sektor dengan pengeluaran modal besar seperti proyek infrastruktur lebih rentan terhadap penyimpangan.

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesinambungan dengan teori Klitgaard. Monopoli dan diskresi tetap menjadi faktor dominan penyebab korupsi.

Namun, dimensi baru berupa teknologi dan tata kelola digital memperluas ruang analisis dimana akuntabilitas kini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga digital dan publik.

Temuan empiris tersebut juga menantang teori pilihan rasional. Dalam banyak kasus, individu yang melakukan korupsi bukan hanya karena kalkulasi untung-rugi rasional, tetapi karena pengaruh sosial, norma kelompok, atau persepsi bahwa “semua orang melakukannya.”

Ini memperlihatkan perlunya pendekatan perilaku (behavioral economics) yang memperhitungkan aspek psikologis dan sosial dalam pengambilan keputusan koruptif.

Dengan demikian, teori-teori lama perlu diperluas untuk mengakomodasi faktor perilaku, budaya digital, dan struktur kelembagaan modern. 

Misalnya, perceived corruption norms (norma persepsi korupsi) dan digital moral disengagement(pembenaran moral dalam ruang digital) menjadi konsep yang relevan untuk menjelaskan perilaku baru dalam era teknologi.

Selain faktor perilaku, faktor kelembagaan tetap menjadi determinan kuat. Negara dengan sistem pengawasan internal yang kuat, transparansi keuangan publik, serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan cenderung memiliki indeks korupsi yang lebih rendah.

Ini membuktikan bahwa korupsi dapat ditekan melalui desain kelembagaan yang baik sesuai dengan gagasan institutional design theory.

Dalam konteks budaya, penelitian-penelitian terbaru menyoroti bahwa nilai-nilai sosial seperti collectivism, power distance, dan uncertainty avoidance memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku korupsi.

Studi oleh Seleim dan Bontis (2022) dalam Journal of Business Ethics menunjukkan bahwa budaya dengan jarak kekuasaan tinggi (high power distance) dan kolektivisme cenderung mentoleransi praktik korupsi karena loyalitas kelompok lebih diutamakan dibandingkan prinsip moral universal.

Sementara itu, budaya dengan low uncertainty avoidance lebih adaptif terhadap transparansi dan inovasi tata kelola antikorupsi.

Di negara dengan hierarki sosial tinggi dan budaya paternalistik, korupsi sering kali dilegitimasi sebagai bagian dari loyalitas.

Digitalisasi menghadirkan paradoks, di satu sisi meningkatkan transparansi dan efisiensi, tetapi di sisi lain memunculkan bentuk korupsi baru seperti cyber bribery, data manipulation, dan algorithmic favoritism.

Teori klasik belum sepenuhnya mampu menjelaskan fenomena ini, sehingga dibutuhkan kerangka baru yang memasukkan variabel digital governance dan teknologi informasi publik.

Dari perspektif ekonomi politik, globalisasi juga menimbulkan tekanan kompetitif antarnegara. Ketika regulasi longgar dan penegakan hukum lemah, investor atau pejabat dapat mencari keuntungan pribadi melalui praktik rent seeking.

Fenomena ini mengonfirmasi relevansi teori political rent dan public choice, dimana birokrat menjadi aktor rasional yang mengejar kepentingan pribadi dalam sistem yang cacat.

Berdasarkan sintesis berbagai teori dan bukti empiris, dapat disimpulkan bahwa penyebab korupsi bersifat multidimensional. Tidak ada satu teori tunggal yang mampu menjelaskan seluruh dinamika korupsi.

Faktor struktural, perilaku, budaya, dan teknologi saling berinteraksi menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya penyimpangan.

Model konseptual yang diusulkan dalam kajian ini mencakup empat dimensi utama: (1) kelembagaan dan regulasi (diskresi, audit, kontrol internal); (2) ekonomi dan politik (FDI, stabilitas politik, kesejahteraan); (3) perilaku dan norma sosial; serta (4) teknologi dan digitalisasi (e-governance, transparansi publik). Interaksi antar dimensi ini menjelaskan variasi korupsi antarnegara.

Implikasi kebijakan yang dapat ditarik dari studi ini adalah pentingnya membangun pemerintahan digital yang inklusif, memperkuat sistem audit internal, serta menanamkan pendidikan antikorupsi berbasis nilai moral dan literasi digital.

Pemerintah harus mengintegrasikan teknologi dengan transparansi publik serta membuka ruang partisipasi masyarakat.

Kesimpulannya, teori klasik korupsi masih relevan sebagai fondasi analitis, tetapi perlu diperbarui untuk menghadapi tantangan era digital dan perilaku sosial modern.

Pendekatan antikorupsi masa kini harus bersifat interdisipliner menggabungkan teori administrasi publik, perilaku sosial, teknologi informasi, dan ekonomi politik agar dapat menjawab kompleksitas korupsi di abad ke-21 secara lebih komprehensif dan kontekstual.

Penulish: Pebriyanto A. Hulinggi
Editor: Tim Ruanda

0 Komentar